![]() |
| Foto: Istimewa |
Namun, dalam satu dekade terakhir, profesi guru di Indonesia semakin rentan mengalami kriminalisasi. Kasus-kasus yang bermula dari niat baik – justru berujung pada proses hukum yang Panjang, traumatis dan sering kali tidak proporsional – semakin sering kita saksikan. Fenomena ini tidak hanya melemahkan wibawa guru, tetapi juga mengancam keberlanjutan sistem Pendidikan nasional itu sendiri.
Guru hari ini berada pada posisi serba salah. Di satu sisi, mereka dituntut mendidik anak dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan, meski dalam keterbatasan sumber daya yang nyata. Disisi lain mereka harus mematuhi berbagai regulasi yang semakin kompleks, dan terkadang berubah-rubah, kadang setiap ganti Menteri, ganti kebijakan. Seperti contoh, ketika anak didik menunjukan perilaku menentang (Baca: melawan guru), menolak diatur, atau menafsirkan kebebasan berekspresi secara berlebihan, saat itu juga guru sering kali kehilangan ruang gerak yang aman untuk menegakan disiplin.
Narasi “hak anak” yang dominan di Masyarakat kadang kala dipahami secara parsial dan emosional. Orang tua atau Masyarakat yang cepat melaporkan guru ke polisi atas Tindakan yang dianggap “melanggar hak anak” – meski sebenernya merupakan upaya pendisiplinan yang wajar – menciptakan ketakutan berlebihan di kalangan pendidik. Akibatnya, banyak guru memilih bersikap pasif, menghindari konfrontasi, dan membiarkan pelanggaran tata tertib sekolah berlarut-larut demi menghindari ancaman hukum. Kondisi ini jelas kontraproduktif terhadap tujuan Pendidikan karakter yang selama ini digaungkan.
Di sisi lain, guru juga dibebani tugas administratif yang semakin berat. Penyusunan rencana pelaksana pembelajaran (RPP) yang harus diperbaharui setiap minggu atau bulan, penilaian autentik, pelaporan daring, jika guru yang juga menjadi bendahara atau operator sekolah harus juga pengelolaan dana BOS secara akuntabel, hal tersebut juga menyita energi yang seharusnya bisa digunakan untuk proses belajar mengajar yang lebih bermakna. Ketika kesejahteraan guru – khususnya guru honorer – masih jauh dibawah standar negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia atau Singapura, beban ini menjadi semakin tidak manusiawi.
Kriminalisasi guru tidak hanya terjadi di ranah pendisiplinan siswa, tetapi juga dalam pengelolaan keuangan sekolah. Seperti, kasus guru atau kepala sekolah yang dilaporkan ke polisi karena dianggap melakukan pungutan liar – padahal iuran komite atau penjualan seragam melalui koperasi sekolah telah disepakati bersama orang tua – menjadi contoh nyata ketidakjelasan regulasi. Dana BOS yang jumlahnya sering tidak mencukupi kebutuhan operasional sekolah memaksa satuan Pendidikan mencari Solusi alternatif. Namun, Ketika solusi tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang kaku, guru dan kepala sekolah lah yang menjadi korban pertama proses hukum.
Kasus yang lebih pelik lagi dialami guru honorer. Ribuan guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun masih belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK. Dalam praktiknya, banyak sekolah menggunakan dana BOS untuk membayar honor mereka – karena memang tidak ada sumber anggaran lain – Namun, hal ini bertentangan dengan aturan Kementerian PAN-RB yang melarang pembayaran pegawai honorer menggunakan anggaran negara, termasuk BOS. Kontradiksi antara permendikbud tentang fleksibilitas penggunaan dana BOS dengan aturan kepegawaian ini menciptakan jebakan hukum yang sistemik. Akibatnya temuan Aparat Penegak Hukum (APH) sering kali mengarah pada tuduhan penyalahgunaan wewenang atau bahkan korupsi, meski niatnya adalah untuk menjamin keberlangsungan proses belajar mengajar.
Perlindungan hukum terhadap guru bukan lagi hanya sekedar wacana, melainkan keharusan mendesak. Karena, negara harus segera merumuskan formulasi kebijakan dalam perlindungan guru yang komprehensif dan konkret, dalam pandangan saya pemerintah bisa membuat kebijakan atau regulasi, antara lain:
Pertama, pemerintah harus membuat payung hukum khusus yang memberikan imunitas terbatas (limited immunity) bagi guru dalam menjalankan tugas Pendidikan dan kedisiplinan, selama Tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik, proporsional dan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Konsep ini sudah juga dijalankan di beberapa negara maju di dunia, salah satunya seperti beberapa negara bagian Amerika Serikat yaitu Konsep Teachers’ Limited Legal Protection.
Atau, dengan penguatan mekanisme mediasi dan restorative justice dalam penyelesaian konflik Pendidikan. Sebelum kasus dilaporkan ke pihak kepolisian, harus ada kewajiban untuk melalui komite mediasi yang melibatkan dinas Pendidikan misalnya, komite sekolah dan ahli perlindungan anak. Karena, menurut hemat saya, hal ini akan mengurangi kriminalisasi yang berlebihan.
Kedua, revisi terhadap regulasi yang tumpang tindih, khususnya antara aturan pengelolaan BOS dan ketentuan kepegawaian. Pemerintah harus memberikan solusi anggaran yang jelas untuk honor guru honorer, Petugas TU, dan lain-lain, sehingga sekolah tidak lagi terpaksa “bermain diarea abu-abu” demi membayar pengabdian mereka.
Ketiga, peningkatan kapasitas guru dalam literasi hukum dan prosedur penanganan kasus siswa bermasalah. Pelatihan konseling berbasis restoratif, bukan kekerasan harus menjadi prioritas atau setiap sekolah guru Bimbingan Konseling di tambah dan di tingkatkan kualitas dan pelayananya. Selain itu Guru perlu dibekali kemampuan mendokumentasikan setiap Tindakan pendisiplinan secara tertulis dan transparan sebagai bentuk perlindungan diri.
Keempat, Pemerintah harus berani merevisi kebijakan yang tidak realistis, seperti larangan total pungutan, tanpa memberikan solusi pengganti yang memadai, menurut hemat saya memang, pungutan lain yang membebani para siswa dan orang tua siswa itu bagus diterapkan, namun Dana BOS harus ditingkatkan secara signifikan selain itu juga perlu diawasi dengan teliti, atau pemerintah memberikan subsidi langsung untuk seragam, buku dan fasilitas lainnya sehingga sekolah tidak lagi membebani orang tua untuk mencari dana tambahan
Terakhir, pengangkatan guru honorer yang telah mengabdi lama di sekolah tersebut harus menjadi prioritas nasional, bukan lagi menjadi janji politik tahunan, formasi PPPK harus dibuka secara massif, dengan kuota yang realistis sesuai dengan kebutuhan rill di lapangan, selain itu gaji serta tunjangan para guru juga harus di tingkatkan, jangan gaji guru lebih kecil dibanding pegawai indomaret di Jakarta (Baca: bukan mengecilkan pegawai Indomaret) karena slogan Guru Pahlawan tanpa tanda jasa menurut hemat saya sekarang tidak berlaku lagi, karena Guru merupakan Pahlawan yang perlu diperhatikan jasa-jasanya.
Profesi Guru adalah profesi mulia yang menuntut pengorbanan luar biasa. Namun, kemuliaan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk memberikan guru terus hidup dalam ketakutan akan kriminalisasi. Negara memiliki tanggung jawab moral konstitusional untuk melindungi pendidiknya, bukan malah justru “menjebak” mereka dalam regulasi yang kontradiktif dan birokrasi yang mematikan semangat.
Jika hari ini kita masih membiarkan guru hidup dalam ancaman hukum hanya karena menjalankan tugasnya dengan segala keterbatasan, maka kita sedang mengkhianati masa depan anak-anak bangsa sendiri. Guru yang takut bukan hanya akan melahirkan generasi yang tidak terdidik dengan baik, tetapi juga generasi yang kehilangan teladan keberanian dan integritas.
Sudah waktunya negara berhenti memperlakukan guru sebagai “pesakitan abadi” di tengah sistem yang masih berkembang “amburadul”. Karena, perlindungan guru bukan sekedar kebijakan administrative, melainkan investasi peradaban. Ketika guru aman dan bermatrabat, maka bangs aini akan memiliki harapan yang jauh lebih baik. Untuk para guru-guru di Indonesia, Selamat Hari Guru Nasional.
Penulis:
Ghilman Hanif
(Masyarakat Indonesia yang bersarjana Pendidikan keguruan namun sedang juga berstudi pada bidang hukum)
.png)
