
![]() |
Sumber: Oketimes |
Pati, Jawa Tengah, sudah lebih dulu menjadi panggung kemarahan warga. Di alun-alun, ribuan orang berorasi, memprotes Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak dari Rp179 ribu menjadi Rp1,3 juta. Buntutnya, 34 orang terluka, 11 orang ditangkap, dan DPRD membentuk Panitia Khusus Hak Angket. Kini, kabar serupa datang dari Cirebon, Jombang, Bone, dan daerah lain. Lonjakan fantastis 250%, 300%, hingga 1.200% membuat rakyat kaget, bingung, dan merasa dikhianati.
Fenomena yang Meluas: Dari Pati ke Cirebon dan Jombang
Data yang berserakan di berbagai media menunjukkan fenomena ini bukan insiden tunggal. Di Cirebon, seorang warga, Darma Suryapranata, mendapati tagihan PBB rumahnya melonjak dari Rp6,2 juta menjadi Rp65 juta, naik hampir 1.000 persen. “Kalau di Pati bisa membatalkan kenaikan, kenapa di Cirebon tidak?” tanya Hetta Mahendrati dari Paguyuban Pelangi Cirebon, yang kini mengancam akan menggelar demo besar-besaran.
Di Jombang, lonjakan mencapai 1.202 persen. Pemerintah daerah mengakui kenaikan itu dan berjanji menahannya untuk 2026–2027, sembari membuka peluang keberatan. Di Bone, Sulawesi Selatan, kenaikan 300 persen memicu unjuk rasa mahasiswa yang berujung bentrok.
Lonjakan ini kerap dijustifikasi dengan alasan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Nilai pasar memang bisa naik, tetapi apakah pantas melompat berlipat-lipat dalam satu tahun tanpa transisi yang manusiawi?
Pajak sebagai Kontrak Sosial
Dalam kacamata ekonomi politik, pajak bukan sekadar instrumen fiskal. Ia adalah kontrak sosial antara rakyat dan negara, termasuk negara dalam bentuk pemerintah daerah. Jean-Jacques Rousseau mengajarkan bahwa rakyat menyerahkan sebagian kekayaannya karena percaya negara akan mengembalikan dalam bentuk layanan publik. Begitu kepercayaan ini goyah, kontrak itu runtuh.
Kenaikan pajak yang ekstrem tanpa konsensus publik adalah pelanggaran kontrak sosial. Ia mengubah pajak dari kesepakatan sukarela (voluntary compliance) menjadi paksaan (forced compliance), yang dalam sejarah selalu berumur pendek dan rawan perlawanan.
Motif Fiskal dan Bayang Politik
Secara fiskal, pemerintah daerah memang didorong meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), apalagi di tengah ketergantungan pada transfer pusat. Pajak, terutama PBB, adalah “tambang emas” yang paling mudah digali. Dalam teori fiskalisme, negara (atau pemerintah lokal) cenderung menggenjot pungutan demi menopang agenda pembangunan, atau bahkan ambisi politik tanpa mempertimbangkan daya dukung ekonomi rakyat.
Tetapi dalam politik, instrumen fiskal yang agresif tanpa legitimasi justru menjadi bumerang. Di Pati, sorotan media nasional membuat pemerintah daerah berada di bawah tekanan politik luar biasa. Anggota DPR dari berbagai fraksi menyebut kenaikan di atas 50 persen “tidak wajar” (Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi II DPR) dan mendesak evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
Pola yang Mengkhawatirkan
Dari Pati hingga Jombang, kisahnya berulang seperti naskah yang diputar di panggung berbeda. Penyesuaian NJOP dilakukan secara drastis dan serentak, tanpa jeda bagi warga untuk bernapas atau menyesuaikan diri. Tidak ada tanda-tanda komunikasi publik yang memadai, informasi baru sampai ke telinga rakyat ketika mereka berdiri di loket pajak, atau malah setelah uang keluar dari dompet. Lebih buruk lagi, proses ini berlangsung tanpa ruang partisipasi yang berarti; keputusan diambil di balik meja, seolah urusan fiskal hanya domain teknokrat, padahal dampaknya merembes jauh ke ranah sosial dan politik.
Kebijakan ini dijalankan di tengah kondisi ekonomi yang rapuh, Ketika inflasi mencekik dan sisa luka pandemi belum sembuh sepenuhnya. Kombinasi ini membentuk pola yang sama: pemerintah daerah mengandalkan kekuasaan formalnya untuk memungut, sementara legitimasi moralnya terkikis sedikit demi sedikit.
Pelajaran dari Dunia
Sejarah dunia berkali-kali memperingatkan bahwa pajak bukan sekadar urusan kas negara, tapi juga barometer kepercayaan. Di Kenya, usulan pajak baru memicu gelombang protes nasional yang berujung pada pembatalan kebijakan. Di Inggris, “poll tax” memicu kerusuhan besar dan menjadi paku terakhir di peti karier politik Margaret Thatcher. Di Prancis, para petani membakar kantor pajak demi menolak pungutan lingkungan, sementara di Hongaria, rencana pajak internet gagal total setelah rakyat membanjiri jalan-jalan.
Semua peristiwa itu punya benang merah: ketika rasa adil hilang, pajak berubah dari kewajiban warga negara menjadi simbol perlawanan. Kenaikan yang terasa tak masuk akal dianggap bukan sekadar beban ekonomi, melainkan tanda bahwa penguasa sudah memutus simpul empati dengan rakyatnya.
Solusi Membangun Demokrasi Fiskal
Menyelamatkan situasi ini bukan sekadar soal menurunkan tarif atau menunda kenaikan. Yang lebih mendasar adalah membangun kembali ruang kepercayaan antara pemerintah daerah dan warganya. Transparansi dalam penetapan NJOP menjadi titik awal. Bukan hanya angka yang diumumkan, tapi juga metodologi dan sumber data yang bisa diuji. Proses itu perlu dilakukan jauh sebelum kebijakan berlaku, memberi waktu bagi publik untuk menilai dan memberi masukan.
Partisipasi publik bukanlah formalitas; ia adalah mekanisme untuk menguji kewajaran kebijakan. Melibatkan perwakilan warga, tokoh lokal, dan asosiasi dalam proses ini akan mengembalikan rasa memiliki terhadap keputusan fiskal. Dan ketika kenaikan memang tak terelakkan, lakukanlah secara bertahap, disertai bukti nyata bahwa setiap rupiah kembali dalam bentuk layanan publik yang bisa dirasakan—jalan yang diperbaiki, fasilitas kesehatan yang membaik, lingkungan yang lebih bersih.
Tanpa itu semua, pajak hanya akan menjadi angka di kertas—dingin, kaku, dan setiap tahunnya semakin sulit diterima. Tetapi dengan pendekatan demokrasi fiskal yang tulus, ia bisa kembali menjadi wujud kerja sama antara rakyat dan negara, bukan medan pertempuran yang memisahkan keduanya.
Kembali Pulihkan Kepercayaan
Kenaikan PBB hingga 1000 persen bukan sekadar masalah angka. Ia adalah ujian legitimasi pemerintah daerah, ujian relasi negara–rakyat di tingkat lokal. Pati sudah menjadi alarm keras; daerah lain sebaiknya belajar sebelum api ini menyebar.
Dalam politik, legitimasi adalah modal utama; dalam ekonomi, pajak adalah darah pembangunan. Jika darah itu diambil terlalu banyak tanpa memberi makan tubuhnya, yang tersisa hanyalah tubuh lemah yang perlahan kehilangan nyawa. Mengelola pajak berarti mengelola kepercayaan, dan sekali kepercayaan hilang, membangunnya kembali bisa memakan waktu lebih lama daripada masa jabatan siapa pun.
Penulis:
Sirajuddin Arridho
(Bukan apa dan siapa)