![]() |
| Sumber: Pribadi |
Di tengah hiruk-pikuk kota-kota besar dalam membangun
infrastruktur yang megah, ada satu persoalan yang jarang sekali didengar dalam
rapat-rapat pejabat maupun baliho kampanye, persoalan limbah manusia ini jarang
tersorot, tidak mengandung unsur secara politis, dan sering dianggap terlalu kotor
untuk dibahas di ruang publik. Padahal, bagi warga di kawasan padat penduduk,
persoalan sanitasi adalah soal hidup sehari-hari.
Permasalahan dalam buang air besar sembarangan, saluran
pembuangan terbuka, dan limbah yang mengalir ke kali, hal ini bukanlah suatu hal
baru. Masyarakat seolah sudah terbiasa dengan pandangan dan kebiasaan hidup seperti
itu dan sayangnya sering kali terabaikan. Justru hal tersebut dampaknya sangat
nyata yang dapat menyebabkan tercemarnya air, penyakit menular, dan generasi
muda yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat.
Dapat dibayangkan dalam pembangunan sebagai sesuatu yang
besar, tinggi, dan modern. Tetapi lupa bahwa kesehatan sebuah kota ditentukan
oleh kenyamanan masyarakat dan partisipasi publik, tidak terhitung dari megahnya
sebuah pembangunan.
Munjirin berani mengambil suatu keputusan yang membuktikan
bahwa limbah bukan sekadar masalah, melainkan potensi energi. Melalui pembangunan
tangki septik komunal berteknologi biogas di Bidara Cina, Kampung Rambutan, dan
Pekayon, Jakarta Timur menunjukkan bahwa sesuatu yang selama ini dianggap
menjijikkan ternyata dapat diolah menjadi sumber energi bersih.
Melalui instalasi tersebut, gas metana yang dihasilkan dapat digunakan
warga untuk memasak. Ironisnya, sesuatu
yang selama ini dihindari dan jarang disorot karena menjadi api kebutuhan
eksternal dalam kebutuhan dapur dapur warga. Hal ini menjadi esensi
pembangunan: kemampuan mengubah masalah menjadi manfaat.
Realisasi dari Program tersebut bukan sekadar eksperimental. Dapat dirasa oleh masyarakat sebuah kemanfaatan sebagai berikut:
- Lingkungan menjadi lebih sehat. Tidak ada lagi limbah yang dialirkan ke got atau sungai. Penyakit berkurang, kualitas hidup meningkat.
- Pengeluaran warga berkurang. Ketika biogas mampu menggantikan sebagian kebutuhan LPG, satu keluarga dapat menghemat lebih dari satu juta rupiah per tahun. Dalam kondisi ekonomi yang serba sulit, penghematan seperti ini bukan hal kecil.
- Perubahan pola pikir. Teknologi tidak lagi dianggap milik kota pintar yang jauh di sana. Ia hadir di kampung mereka, sederhana namun berdampak.
Pembangunan sanitasi merupakan pengambilan keputusan yang
diprioritaskan, program tersebut dapat dijadikan contoh oleh pemerintah dan
publik.
“kepemimpinan bukan soal mengikuti perhatian publik, tetapi
mengarahkan perhatian publik kepada masalah yang penting” ujarnya pada pernyataannya.
Dalam kegiatan ini, Munjirin bersinergi dengan pemerintah,
BUMD, CSR perusahaan, dan masyarakat. Ia juga memastikan bagaimana warga
dilibatkan sejak awal agar fasilitas ini menjadi “milik bersama”, bukan sekadar
struktur beton yang dibangun lalu ditinggalkan.
Jika dapat diperluas, potensi Jakarta Timur untuk menjadi
pelopor energi hijau berbasis limbah domestik sangat besar. Contohnya dengan menghapus
praktik BABS, meningkatkan sanitasi, dan mengubah pola pikir masyarakat bukan
hanya langkah teknis, tetapi langkah peradaban.
Munjirin telah membuktikan bahwa permasalahan yang kurang disorot
dan diminati oleh publik dan pemerintah justru menghasilkan harapan bagi masyarakat.
Persoalan yang serius ini mampu mengubah masa depan Jakarta Timur lebih baik.
Penulis : Redza Sutiara Akbar
Editor : Darby

