
![]() |
Sumber: Kaffah |
Perempuan dan Halangannya
Banyak faktor-faktor perempuan untuk bisa ‘merdeka’ atas pemikiran dan tindakannya. Bisa jadi karena faktor pemikiran keluarga yang belum demokratis terhadap pilihan anaknya, beban produksi keturunan (karena perempuan dinilai cepat monopause sehingga menikah terlalu lama akan mempersulit punya keturunan dll, faktor produksi ‘khusus’ karena perempuan lah yang bertugas untuk hamil dan menyusui), serta pengetahuan ilmu yang belum memadai sehingga tidak kritis untuk memikirkan masa depannya dan tubuhnya. Lantas, jika kita berpijak dengan pejuang nasib perempuan yang kita kenal bernama R.A Kartini, saya rasa kita semua baik laki-laki dan perempuan harus tetap menjalankan perjuangan-perjuangan beliau di masa dahulu kala.
Banyak para puan yang masih terhalang untuk tampil di umum. Bahkan, mirisnya perempuan tidak saling mendukung satu sama lain hingga menjelekkan perempuan lainnya karena faktor ‘susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah’ serta iri. Tidak hanya itu, perempuan juga mempunyai beban ganda dimana dalam satu keluarga masih ber-keyakinan bahwa bila istri bekerja dia tetap harus melayani dapur, sumur dan kasur hingga anak. Padahal, ini adalah beban ganda seorang perempuan. Oleh sebab itu, Inilah yang menjadi dasar renungan kita semua untuk harus mengubah dan memberantas pola pemikiran patriarki ini. Apakah selalu yang menjadi tonggak pengurusan rumah tangga itu selalu dari ibu? Apakah selalu ayah yang bekerja dan menafkahi rumah tangganya? Sebetulnya, saya katakan bahwa tidak semua dalam satu keluarga itu ideal dalam rules-nya. Ada ibu yang tidak bekerja dan ada ayah nya yang bekerja. Ada yang ibunya bekerja dan ayahnya yang tidak bekerja. Ada yang ibu dan ayahnya sama-sama tidak bekerja dan ada pula yang ayah dan ibunya sama-sama kerja. Manakah keluarga yang ideal? Tentu semua model keluarga tersebut adalah pilihan masing-masing dan persetujuan masing-masing keluarga. Mari kita hilangkan stigma-stigma yang selama ini melekat erat sehingga terjadi kesenjangan gender dari laki-laki dan perempuan.
Pendidikan untuk Kesejahteraan Keluarga
Pola didik dan pengasuhan kepada anak menjadi kunci dari kesejahteraan keluarga. Kita sudah cukup tahu bahwa anak adalah peniru yang handal. Apa yang disaksikan anak, diperbuat oleh anak dan psikis anak itu adalah meniru kebiasaan orangtuanya di rumah. Itulah kenapa disebut bahwa pendidikan pertama anak adalah lingkungannya. Apa yang diajarkan dan dicontohkan oleh kedua orangtuanya menjadi cerminan mau menjadi apa anak kita nanti saat dewasa. Namun, stigma sosial yang masih melekat itu belum dapat dihilangkan. Perempuan masih dianggap pembawa masalah. Sering dinasehati oleh orangtua kepada perempuan untuk menjaga kehormatan, harus rajin, dan melihat etika berpakaian dan berprilaku. Ditambah, pola didik yang diajarkan anak laki-laki tidak boleh cengeng karena laki-laki itu kuat, anak laki-laki tidak boleh. Padahal, laki-laki juga punya perasaan dan air mata yang bebas dan dapat diekspresikan pada situasi apapun. Pendidikan gender menjadi penting untuk pola didik dan pengasuhan anak.
Saat ini, media sosial sedang sontak dihebohkan dengan pasangan muda selebgram Cut Intan dan Amor yang telah terjadi KDRT (kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dilakukan oleh suaminya terhadap istrinya yang baru saja 1 (satu) minggu selesai bersalin anak ketiga ditambah anaknya juga ikut kena kekerasan oleh bapaknya. Dikutip oleh komnas HAM bahwa bilamana seorang bapak yang melakukan kekerasan terhadap istrinya secara tidak langsung anak pun ikut terkena dampak kekerasan pula. KDRT merupakan sebuah cerminan bahwa dinilai laki-laki lebih kuat sehingga mampu melakukan apapun bahkan ber-prilaku abbusive terhadap pasangannya. Artinya adalah, anak yang tumbuh dalam nuansa keluarga KDRT ini akan mempunyai cerminan bahwa suatu saat dia akan begitu pula dengan pasangannya dan trauma ini tidak akan habis dan berhenti.
Tidak hanya pola didik keluarga saja, sekolah merupakan wadah penting anak untuk memperoleh pendidikan. Level pendidikan anak di tingkat PAUD pun menjadi saksi bahwa ada kesenjangan gender disini. Banyak tenaga pendidik (guru) PAUD dinilai harus lebih penyayang dan lembut sehingga dianggap guru PAUD yang ideal adalah perempuan. Fakta sosialnya memang di tingkat pendidikan PAUD saat ini memang lebih banyak guru perempuan daripada laki-laki. Bahkan, di level perguruan tinggi pun mahasiswa yang banyak minat ke prodi pendidikan PAUD itu adalah perempuan.
Padahal, perguruan tinggi sebagai pencetak sarjana lulusan harus mampu untuk mengedukasi bahwa tugas mendidik anak itu bukan perempuan melainkan bapak juga harus punya tanggung jawab dalam mendidik dan mengasuh anak. Penyampaian ilmu kepada anak itu adalah dengan metode bermain, dari bermain itulah dimasukkan unsur-unsur pendidikan. Bahkan, guru PAUD laki-laki juga sangat penting karena dalam satu keluarga barangkali ada murid yang sudah tidak ada bapak sehingga, guru laki-laki PAUD bisa menjadi contoh dan cerminan bapak pengganti di sekolah yang baik dan sholeh.
Pemahaman Agama Menjadi Penting…
Dalam agama telah dijelaskan berdasarkan Q.S At-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya, “Wahai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” (Surat At-Tahrim ayat 6).
Ditafsirkan dari ayat tersebut bahwa islam sendiri mengatakan bahwa seorang anak yang lahir itu mendapat hak untuk memperoleh pendidikan baik dari ayah maupun ibunya. Banyak sekali anjuran Al-Qur’an yang menyerukan bahwa orangtua baik dari ayah dan ibu untuk dapat membimbing dan mengajarkan anak. Maka, sudah pasti bukan peran perempuan saja yang mengasuh dan mendidik. Akan tetapi, ayah/bapak pun juga harus bahkan wajib mengasuh dan mendidik. Tanggung jawabnya di sini dapat dikonversikan ke berbagai bentuk tindakan, termasuk di dalamya adalah kegiatan mendidik anak-anaknya. Di samping itu islam hadir pada manusia dengan tujuan membebaskan dari berbagai bentuk ketidakadilan.
Hubungan antar manusia dalam islam didasarkan atas prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan dan kemaslahatan. Meskipun di dalam al-Qur’an diakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan yang dimaksud bukan tidak sama dengan pembedaan yang dapat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan antara keduanya dimaksudkan untuk mendukung misi pokok agama, yaitu terciptanya hubungan yang harmonis yang didasari oleh kasih sayang dalam keluarga.
Solusi Untuk Kemaslahatan Kita Bersama
Di hari kemerdekaan 17 agustus 2024 ini, saya berharap para perempuan-perempuan di Indonesia khususnya dengan keterbatasannya menjadi lebih merdeka dan bebas dalam ber-prinsip. Pendidikan yang mengedepankan kesetaraan gender dimunculkan sedari mungkin agar generasi anak-anak bangsa Indonesia lebih paham dan menghargai antar sesama tanpa berpatokan dengan gender dan batasan-batasannya sehingga stigma-stigma sosial tersebut menghilang dengan kebudayaan pembiasaan yang kita ubah melalui peran guru dalam pendidikan di sekolah.
Untuk itu, pemerintah harus mengupayakan kesejahteraan guru khususnya guru PAUD dan guru TK. Bila sejahtera, saya yakin baik guru perempuan dan guru laki-laki rasionya akan 50:50 dan efeknya para anak siswa didik ini mendapat peran pengganti orangtua yang ideal dan setara di sekolah selain di rumah. Sebab, masalah gender ini menjadi momok masalah bermunculan dari pola asuh yang kisruh di dalam rumah tangga. Kita harus berpatokan dengan istilah sebagaimana yang saya tulis diatas bahwa keluarga yang rukun maka masyarakat Indonesia akan sejahtera.
Maimunah Permata Hati Hasibuan
(Mahasiswa S-3 Manajemen Pendidikan Islam UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)