
![]() |
Sumber: RRI |
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan terdapat pelbagai persoalan dalam proses seleksi calon anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2022-2027.
Persoalan tersebut antara lain dugaan kuat adanya praktik lancung terselubung dalam proses seleksi, khususnya pada tahap kedua menuju tahap ketiga yang banyak mengeliminasi peserta. "Hasil tes tidak dipublikasikan. Padahal tahap ini menjadi tahap fenomenal dan krusial," kata Titi saat dihubungi, Kamis, 4 Juli 2024.
Titi menduga terdapat lobi-lobi yang dilakukan calon anggota dengan komisi bidang pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum uji kepatutan dan kelayakan. Sebab, sebelum tahapan ini dilangsungkan, mencuat sejumlah nama yang dinyatakan lolos dan laik direkomendasikan kepada presiden. Bahkan nama-nama yang mencuat sebelum tes dilangsungkan itu kini menduduki kursi komisioner KPU. "Sehingga tidak pelik penyelenggaraan pemilu kita cacat. Sebab, sejak awal proses yang dilalui pun tidak akuntabel dan transparan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership Neni Nur Hayati sependapat dengan Titi. Ia menilai ada persoalan dalam proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027, baik dari unsur peserta maupun panitia. Neni mengatakan, dalam seleksi tahap ketiga, yaitu sesi wawancara, tampak adanya keberpihakan panitia kepada sejumlah calon anggota.
Hal tersebut terlihat saat sekretaris panitia seleksi yang juga menjabat Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, memuji-muji sejumlah peserta dalam sesi wawancara. Masalahnya, enam dari peserta yang memperoleh pujian tersebut terpilih menjadi komisioner KPU, termasuk Hasyim Asy'ari. "Ini bisa dilihat karena wawancara disiarkan secara daring di YouTube," kata Nani.
Meski tindakan itu tidak diatur secara jelas, kata dia, semestinya panitia seleksi tidak memperlihatkan penilaiannya secara langsung dalam tahap tersebut. Sebab, sikap seperti itu akan menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa seolah-olah terdapat peserta yang memang telah disiapkan menjadi anggota KPU. "Lantas, untuk apa diselenggarakan proses seleksi jika hasilnya sudah bisa diketahui?" ujar Nani.
Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, mengamini dugaan para pegiat kepemiluan itu. Ia mengakui terdapat praktik lancung, yaitu tarik-menarik kepentingan calon anggota KPU dan Bawaslu dengan figur di DPR, yang disinyalir terjadi salah proses seleksi, termasuk dalam proses seleksi Hasyim.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu menyinggung mencuatnya nama-nama calon anggota KPU dan Bawaslu saat proses uji kelayakan dan kepatutan. Saat itu, kata dia, proses uji kelayakan dan kepatutan calon anggota berlangsung tiga hari di Komisi II DPR. Namun pada hari kedua terdapat bocoran nama-nama calon anggota yang terpilih. "Saya tidak menyangkal pernyataan (ada tarik-menarik kepentingan)," ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dugaan adanya tarik-menarik kepentingan itu, Mardani melanjutkan, makin dicurigai setelah bocornya nama-nama calon anggota terpilih pada hari kedua uji kelayakan dan kepatutan. Pemecatan Hasyim dari jabatan Ketua KPU menjadi pertanda bahwa terdapat proses seleksi calon anggota yang tidak dilakukan dengan baik. "Dengan adanya kasus sekarang, bisa jadi skenario itu terbukti bahwa ada pesanan-pesanan,” tuturnya.
Rabu, 3 Juli 2024, DKPP membacakan putusan kasus pelanggaran etik Ketua KPU Hasyim Asy’ari atas perkara dugaan pelecehan seksual. Dalam putusannya, DKPP menyatakan Hasyim terbukti bersalah karena melakukan pelecehan seksual terhadap pengadu, yaitu anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri Den Haag, Belanda, berinisial CAT.
Ketua majelis DKPP, Heddy Lugito, menjatuhkan sanksi terhadap pihak teradu, yaitu Hasyim, berupa pemberhentian tetap. "Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy’ari selaku Ketua merangkap anggota KPU terhitung sejak putusan ini dibacakan," kata Heddy saat membacakan putusan.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan lobi-lobi yang dilakukan calon anggota KPU ataupun partai politik dalam proses seleksi merupakan konsekuensi logis sistem pemilihan komisioner saat ini. Menurut dia, mekanisme uji kelayakan dan kepatutan mengharuskan terjalinnya komunikasi politik langsung antara calon dan Komisi II DPR, yang akan memilih penyelenggara sekaligus menjadi peserta pemilu. "Uji kelayakan dan kepatutan bukan seleksi yang netral. Ini adalah proses politik," ujarnya.
Hurriyah menyarankan pemerintah mengubah sistem pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu agar penyelenggaraan pemilu menjadi berintegritas, kompeten, dan akuntabel. Misalnya, hasil seleksi calon komisioner diputuskan oleh panitia seleksi, bukan DPR. Nantinya, DPR berfungsi menetapkan nama hasil seleksi tersebut untuk segera diserahkan kepada presiden. "Yang tak kalah penting, komposisi panitia seleksi juga tidak didominasi dari unsur pemerintah," ucapnya.
Titi Anggraini berpendapat serupa dengan Hurriyah. Ia berharap pemerintah dan DPR dapat segera membenahi proses seleksi penyelenggara pemilu, baik dalam hal transparansi, kredibilitas, maupun komposisi tim panitia seleksi. "Tim panitia, misalnya, disarankan agar didominasi kalangan akademikus dan profesional nonpemerintah," ujar dia.
Anggota tim panitia seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027, Endang Sulastri, mengatakan timnya telah bekerja sesuai dengan dasar dan mekanisme yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan. "Kami menilai sesuai dengan hasil yang kami terima, baik tes tertulis, psikologis, maupun wawancara," katanya.[Rls]