
![]() |
Sumber: Koran TEMPO |
Tulisan ini dimaksudkan sebagai wake-up call bagi kita semua para akademisi dalam turut serta membangun kehidupan bangsa yang cerdas dan cemerlang. Semoga bermanfaat.
Apa Itu Guru Besar?
Guru Besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi Dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Begitulah bunyi undang-undangnya.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa yang namanya Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan. Adapun tugas utamanya terdiri atas: Pertama Mentransformasikan, Kedua Mengembangkan, dan Ketiga menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui Tridharma perguruan tinggi.
Nah, sebagai pejabat fungsional akademik tertinggi, Guru Besar memiliki 2 (dua) karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh Dosen yang lain apalagi oleh orang dari profesi lain. Kedua karakteristik itu adalah: Mumpuni dalam bidang ilmu yang digelutinya, serta Matang dalam bidang akademik khususnya dan bidang kemanusiaan umumnya.
Kemumpunian dalam bidang ilmu dibuktikan dengan publikasi internasional berkelas. Artinya, publikasi tsb memiliki pengikut (follower) kelas dunia. Mengapa harus publikasi internasional? Karena ilmu besifat universal. Lalu, mengapa publikasi internasional tsb harus berkelas? Karena adanya world class follower adalah bukti bahwa ilmunya diakui oleh international peers. Karakteristik pertama ini sulit dimiliki oleh orang yang berprofesi diluar profesi Dosen dan diluar profesi peneliti.
Adapun kematangan dalam bidang akademik dan bidang kemanusiaan dibuktikan dengan kemumpunian dalam menghadapi/menyelesaikan masalah academic norms dan masalah non-academic termasuk masalah kemanusiaan.
Oleh karena itulah mengapa Guru Besar disebut Guardian of Values, baik guardian of academic & scientific values maupun guardian of human values.
Napoleon's Cupboard
Sangat disayangkan, tugas utama Dosen dalam undang-undang tidak mencakup tugas “menciptakan (inventing) ilmu baru” atau dengan kata lain “memajukan (advancing) ilmu” dan hanya terbatas pada “mengembangkan (developing) ilmu.”
Oleh karena itulah, walaupun undang-undang menyatakan bahwa Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan (scientist), tidak usah heran apabila peringkat PTN/PTS kita di tingkat global berada jauh di bawah tetangga terdekat sebelah barat-utara.
Selain tugas Dosen yang hanya terbatas pada mengembangkan (developing) ilmu, sebagai profesional, secara umum Dosen melupakan apa yang oleh neuroscientist disebut metafora Napoleon’s cupboard. Napoleon disini maksudnya Napoleon Bonaparte sang legenda Perancis.
Metafora itu menunjukkan bahaya besar apabila seorang profesional merangkap jabatan (multitasks) atau, dengan kata lain, melakukan parallel processing. Bahaya tsb antara lain berupa penurunan IQ yang luar biasa sebagaimana ditulis Jeff Haden dalam “Inc. Newsletter” edisi 13/06/2024 sebagai berikut: “A number of studies show that multitasking makes you less efficient and effective. Other research shows multitasking actually makes you stupid; a study published in the New Atlantic found that multitasking lowers your IQ by about 10 points.” Wooow ... mengerikan sekali, bukan?
Oleh karena itu, bagi rekan Dosen yang ingin menjadi profesional sejati, silahkan renungkan petuah dari dunia neuroscience berikut (petuah agar menghindari rangkap jabatan): “Use Napoleon’s cupboards to be smarter and more successful. Parallel processing is impossible. Trying to multitask is ineffective. The key is to embrace serial processing, or what Napoleon called opening and closing one cupboard at a time.”
Sebagai pendidik profesional dan sebagai ilmuwan, Dosen adalah ujung tombak pelaksanaan kedua fungsi perguruan tinggi. Kedua fungsi itu adalah: (1) Memproduksi ilmu baru. (2) Menghasilkan manusia baru yang berakhlak mulia dan berilmu pengetahuan.
Sekali lagi, legitimasi kebaruan ilmu yang diproduksi seorang akademisi ada di tangan international peers. Oleh karena itu, publikasi internasional berkelas adalah sebuah keniscayaan bagi Dosen.
Di banyak negara, rumus yang dianggap baik untuk melaksanakan kedua fungsi itu adalah 70:30. Sebanyak 70% waktu tugas Dosen adalah untuk mewujudkan fungsi pertama via R&A (research for advancement) dan publikasi internasional. Sisanya, 30% untuk melaksanakan fungsi kedua (pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat).
Nah, dalam berbagai forum akademik saya selalu menyebut penelitian, publikasi internasional, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat, dengan istilah Caturdharma. Istilah ini memperlihatkan kemandirian dalam pendidikan tinggi kita.
Maman A. Djauhari
(Ketua Majelis Guru Besar ITB, 2007-2008)