
![]() |
Sumber: Kompas.com |
Dia memang tak dikenal luas sebagai dosen atau akademisi selama ini dan baru lulus program doktor dari Universitas Padjadjaran tahun 2023. Ini berarti, ia tak memiliki kiprah dan komunitas keilmuan yang dikenal publik, yang mendasari permohonan menjadi guru besar, selain belum memenuhi beberapa syarat pengajuan guru besar. Maka, terdengar janggal bahwa sang politisi ini ternyata sedang mengurus jabatan guru besar.
Seperti dilaporkan Tempo, ada politisi lain, seorang sekjen partai besar, juga berambisi meraih guru besar dan sudah berhasil. Diungkapkan, terjadi praktik-praktik janggal dan melanggar aturan dalam pengurusan dan pengabulan gelar guru besar untuk para politisi dan sejumlah akademisi, termasuk keterlibatan asesor di Kemendikbudristek.
Publik mungkin tak terlalu kaget karena peristiwa ini bagian dari rentetan persoalan integritas yang telah mendera dunia pendidikan tinggi kita beberapa tahun terakhir. Amat merisaukan melihat data keterlibatan banyak akademisi kita dalam praktik-praktik tak berintegritas, mulai dari plagiarisme, manipulasi kepengarangan, serta ketidakjujuran dalam kelulusan program doktoral dan pengurusan jabatan akademik dosen.
Di hadapan persoalan ini, kita bertanya: mengapa persoalan integritas akademik ini terus mendera pendidikan tinggi kita? Apa yang sesungguhnya terjadi di antara para akademisi dan politisi pemburu gelar itu? Apakah persoalan ini melulu berhubungan dengan hasrat ekonomis yang terjadi dalam konteks tata kelola perguruan tinggi (PT) di Tanah Air yang masih karut-marut atau ada lapisan kultural tertentu yang melatarbelakangi fenomena aneh ini?
Tentu saja persoalan ini bersifat struktural dan berhubungan erat dengan sistem pengaturan PT kita. Namun, dibandingkan dengan negara-negara maju, jelas bahwa persoalan integritas akademis di negeri kita ini juga terhubungkan dengan ambiguitas makna dan fungsi gelar dan jabatan fungsional akademik.
Ambiguitas dan ketegangan yang terjadi antara satu kutub makna akademis yang lebih bersifat ilmiah dan universal, di satu sisi, dan kutub makna kultural yang memiliki konteks unik dalam sejarah modernisasi Indonesia di sisi lain.
Residu mentalitas priayi
Sejarawan Perancis, Denis Lombard, dalam karyanya, Nusa Jawa: Silang Budaya, telah mencatat sebuah fenomena aneh dalam dinamika modernisasi (dalam arti ”pembaratan”) masyarakat Indonesia, terutama lewat dunia akademis (PT/universitas) dan angkatan bersenjata (AB). Kedua lembaga ini, PT dan AB, tak pernah sungguh menjadi ”modern” atau rasional berbasis merit.
Dalam analisis Lombard, kedua lembaga itu menjadi struktur yang ”diimpor” dari Barat dan kemudian dimanfaatkan oleh kaum elite priayi untuk melestarikan prestise dan pengaruh mereka. Di universitas-universitas di Indonesia yang lahir pasca-kemerdekaan waktu itu, bentuk-bentuk organisasional dan bahkan terminologi universitas di Barat diikuti dengan sangat setia, bahkan lebih setia daripada di Barat sendiri.
Namun, gelar akademis ternyata diperlakukan sebagai bagian dari prestise kebangsawanan yang baru (Lombard, Nusa Jawa I, 123). Gelar dan jabatan akademis dikooptasi menjadi aksesori sosial dan kultural dari kelompok priayi yang telah kehilangan status tradisional, tetapi ingin melestarikan pengaruh sosial kultural mereka.
Dalam arti tertentu, kata-kata politisi senior yang disebut di depan mencerminkan mentalitas ini. Baginya, jabatan fungsional guru besar terutama dimengerti sebagai gelar dan status yang menjadi ”kebanggaan” keluarga dan teman-teman, bukan bagian dari proses-proses keilmuan yang otentik dan berdampak. Kalau dulu gelar doktorandus diburu, sekarang gelar sarjana dan bahkan magister tak cukup. Orang mengejar gelar doktor dan kalau bisa jabatan profesor atau guru besar. Jelas, kerusakan publik yang terjadi semakin besar.
Hasrat para politisi untuk meraih gelar dan jabatan fungsional akademik dengan cara yang lancung menunjukkan sesuatu yang memprihatinkan, yaitu lahirnya intelektual publik yang _erzats alias palsu. Para politisi memiliki tugas utama di ranah publik politik.
Gelar abal-abal ini tentu saja bagian dari gejala adanya simulacrum, kepura- puraan, pencitraan di dunia politik yang dihiasi gelar mentereng akademis, tetapi minus pemikiran yang mendalam dan inovatif seperti yang dituntut dari gelar akademis dan jabatan fungsional itu. Tentu saja, amat baik apabila dunia politik kita diisi pribadi-pribadi dengan tingkat intelektualitas yang tinggi.
Namun, kehadiran intelektual _erzats ini tak kelihatan terbukti dengan meningkatnya performa DPR atau MPR. Kualitas naskah akademik RUU, atau perdebatan di DPR, selama ini rasanya belum menunjukkan kualitas ini. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih harus berjuang melahirkan intelektual sejati, termasuk intelektual publik, bukan ”intelektual erzats” atau intelektual priayi.
Jeratan neoliberalisme
Kini, fenomena ”akademisi atau intelektual bermentalitas priayi” bertambah ruwet dengan keinginan kelas menengah yang terdidik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka dengan cara tak wajar. Mekanisme ini dipicu juga oleh ideologi neoliberal yang mulai mendera sistem pendidikan tinggi kita.
Menurut Henry Giroux, terutama dalam konteks Amerika, neoliberalisme telah mengubah pendidikan tinggi secara radikal lewat model korporasi, bahkan ”McDonaldisasi” pendidikan, di mana lembaga PT mengalami penyeragaman tata kelola, diurus oleh manager dan birokrat, bukan pendidik dan intelektual. Secara keilmuan, PT neoliberal didominasi oleh disiplin ilmu sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM), sementara ilmu humaniora dan sosial tersingkir (Giroux 2014).
Dalam iklim seperti ini, termasuk di Indonesia, dosen bekerja layaknya pekerja atau buruh, bukan sebagai intelektual atau pemikir, dengan tugas utama memproduksi produk dan layanan, entah itu mata kuliah, proyek riset, publikasi, inovasi, dan program pengabdian.
Semua performa ini cenderung diukur dengan matriks produktivitas yang dikuantifikasi dalam model audit dan akreditasi. Produktivitas ini dikejar oleh banyak universitas dan terjadilah formalisasi olah pikiran dan intelektualitas. Pemerintah menjadikan produktivitas sebagai target terukur untuk kompetisi dengan negara lain demi ranking.
Sementara itu, di sektor privat, tumbuh pelbagai perusahaan yang menawarkan jasa ”konsultan” berbayar untuk pelbagai kepentingan akademis, mulai dari kenaikan jabatan fungsional dosen hingga akreditasi program studi.
Padahal, menyitir pemikiran kritis Giroux, universitas adalah ruang demokratis yang mendidik warga negara ( citizens), bukan menciptakan konsumen. Universitas memiliki tugas menyediakan fondasi pembinaan kewargaan yang kritis, tercerahkan, dan terlibat.
Singkatnya, universitas harus menjadi arena formatif yang membentuk warga negara lewat pedagogi kritis. Dalam hal ini, PT dipanggil untuk mengembangkan imajinasi etis dan sosial. Mahasiswa menjadi pemrakarsa dan pencipta budaya dengan kemampuan menghubungkan kultur populer dan fenomena harian dengan politik dan demokrasi.
Dosen mestinya menjadi intelektual publik yang terbiasa dan mahir menghubungkan ilmunya dengan kenyataan dan masalah sosial yang lebih luas. Pendidikan tinggi mestinya mampu menawarkan sebuah visi menyeluruh tentang masyarakat, bukan pengetahuan yang terpecah-pecah. Idealisme PT seperti ini sulit terwujud di bawah rezim neoliberal.
Menurut Giroux, yang terjadi justru krisis literasi, bukan hanya literasi umum yang juga terus memprihatinkan, melainkan terutama literasi kewargaan ( civic literacy), yaitu segala pengetahuan dan kesadaran yang akhirnya membentuk sikap dan keutamaan kewargaan ( civic virtues) yang bertanggung jawab.
Komersialisasi dan komoditifikasi pendidikan tinggi beserta praktik koruptif menunjukkan gejala yang lebih luas bahwa kampus cenderung dihuni bukan oleh sivitas akademika dan warga negara yang bertanggung jawab, melainkan oleh individu konsumen yang bertindak sesuai mekanisme hasrat yang telah terdistorsi.
Kapitalisme telah berevolusi dan kekuatannya tak lagi terutama dalam sistem ekonomi karena kapitalisme sudah masuk ke dalam wilayah ”ontologi”, yaitu pembentukan hasrat manusia itu sendiri (Daniel Bell 2001; Deleuze dan Guattari 1983). Kapitalisme telah bergerak dari wilayah ekonomi ke wilayah kultur dan mentalitas yang justru memiliki kekuatan lebih besar untuk membentuk manusia lewat ”pendisiplinan” hasrat.
Maka, dalam hal ini, kapitalisme atau neoliberalisme telah masuk ke jantung PT, bukan hanya dalam model atau sistem tata kelola PT (misalnya paradigma korporasi yang berorientasi profit), melainkan dalam wilayah hasrat sivitas akademika itu sendiri. Kapitalisme menjadi pedagogi, ”kurikulum” atau bahkan ”sekolah” tersendiri karena membentuk hasrat manusia secara lebih mendalam daripada kurikulum akademis.
Hal-hal akademis menjadi produk yang dikonsumsi hasrat dan berhenti di sana, bukan pada pembentukan sikap kewargaan dan tanggung jawab lebih luas.
Intelektual dan masyarakat sipil
Dalam situasi seperti ini, persoalan utamanya tidak hanya komodifikasi dan komersialisasi, tetapi pemiskinan dan kooptasi ilmu dan peran publik dari pengetahuan dan PT, dan persoalan ini yang sebetulnya lebih parah. Dengan demikian, masalah integritas di kalangan akademisi dan PT akhirnya juga melemahkan masyarakat sipil secara umum.
Tentu saja ini berakibat sangat buruk dalam situasi di mana masyarakat politis ( political society) dan korporasi korup juga. Namun, dalam studi tentang korupsi, John Girling mengatakan, meskipun korupsi itu didorong oleh faktor ekonomi, korupsi juga ditentukan oleh norma-norma politik dan standar dari masyarakat sipil (Girling 1997: 27).
Sebagai salah satu pilar dari masyarakat sipil, PT mengemban tugas ini. Dalam hal ini, mutu dan reputasi dosen, termasuk guru besar, mestinya berasal dari reputasi akademis, ilmiah, dan keterlibatan publik, yang diakui oleh kolega-kolega dan masyarakat yang lebih luas.
Maka, semestinya para akademisi aktif sebagai intelektual di asosiasi dan forum-forum ilmiah, bukan tiba-tiba muncul sebagai guru besar dengan keahlian dan kontribusi yang diragukan dan belum dikenal publik dan lingkaran akademisnya sendiri. Sesuai peran publik dari universitas, dosen dan akademisi harus menunjukkan keterlibatan publik nyata, apalagi untuk jadi guru besar.
Di tengah krisis integritas ini, para akademisi dan intelektual dipanggil untuk minimal menunjukkan standar perilaku yang tak hanya bersesuaian dengan standar etika dan integritas, tetapi menciptakan public mood yang mendorong tumbuhnya hidup etis yang lebih luas.
Identitas dan panggilan dosen, akademisi, termasuk guru besar, adalah sebagai pendidik, ilmuwan dan intelektual, serta tidak melulu berhubungan dengan produksi pengetahuan saja, tetapi juga persoalan pembangunan peradaban dan pertumbuhan kemanusiaan yang lebih luas.
A. Bagus Laksana
(Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)