
Suaraperubahan.com - Dalam sistem hukum Indonesia, abolisi merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur secara tegas dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pemberian abolisi tidak bisa dilakukan secara sepihak. Presiden wajib memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), sebuah langkah yang mencerminkan prinsip checks and balances dalam tata kelola negara.
Abolisi adalah keputusan resmi yang menghentikan proses hukum terhadap seseorang atau suatu kelompok sebelum pengadilan menjatuhkan putusan. Dalam praktiknya, ini berarti penuntutan dihentikan dan kasus dianggap selesai tanpa adanya vonis lebih lanjut.
Menurut Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition (2009) karya Marwan dan Jimmy, abolisi juga dapat menghapus seluruh akibat putusan pengadilan atau menghentikan tuntutan pidana yang telah dijalankan.
Landasan hukum abolisi selain Pasal 14 UUD 1945, juga diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Pasal 71 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 juga menegaskan peran DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi, sebagai bentuk pengawasan atas kebijakan eksekutif dan menjaga keseimbangan antarlembaga.
Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengajukan permohonan abolisi kepada DPR RI untuk Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo. Surat permohonan tersebut tercatat dalam Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengonfirmasi bahwa DPR telah memberikan persetujuan atas permohonan abolisi tersebut. Dengan keputusan ini, penuntutan kasus korupsi terkait impor gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016 yang menjerat Tom Lembong dihentikan. Sebelumnya, Lembong sudah dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 miliar subsidair enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengajuan abolisi ini dilakukan oleh Kementerian Hukum melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang kemudian disampaikan ke Presiden Prabowo. Setelah DPR memberikan pertimbangan positif, Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai dasar resmi pemberian abolisi kepada Tom Lembong.
Pemberian abolisi bukan hal yang biasa dilakukan tanpa proses yang jelas. Keputusan ini mencerminkan dimensi kemanusiaan dan politik dalam sistem hukum, terutama pada kasus-kasus yang berkaitan dengan sengketa politik atau kasus yang memiliki implikasi sosial luas. Dengan melibatkan DPR, kebijakan ini mendapat legitimasi dari wakil rakyat, sehingga menguatkan fungsi pengawasan dan akuntabilitas pemerintah.
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong menyoroti mekanisme hukum yang kompleks dan penting dalam sistem peradilan Indonesia. Hak prerogatif Presiden ini, dengan keterlibatan DPR sebagai pengawas, memastikan bahwa keputusan pengampunan hukum tidak diambil secara sepihak, melainkan melalui proses yang transparan dan terstruktur. Kasus ini juga mengingatkan publik tentang pentingnya keseimbangan antara keadilan hukum dan kebijakan pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus besar.
Abolisi adalah keputusan resmi yang menghentikan proses hukum terhadap seseorang atau suatu kelompok sebelum pengadilan menjatuhkan putusan. Dalam praktiknya, ini berarti penuntutan dihentikan dan kasus dianggap selesai tanpa adanya vonis lebih lanjut.
Menurut Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition (2009) karya Marwan dan Jimmy, abolisi juga dapat menghapus seluruh akibat putusan pengadilan atau menghentikan tuntutan pidana yang telah dijalankan.
Landasan hukum abolisi selain Pasal 14 UUD 1945, juga diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Pasal 71 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 juga menegaskan peran DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi, sebagai bentuk pengawasan atas kebijakan eksekutif dan menjaga keseimbangan antarlembaga.
Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengajukan permohonan abolisi kepada DPR RI untuk Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo. Surat permohonan tersebut tercatat dalam Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengonfirmasi bahwa DPR telah memberikan persetujuan atas permohonan abolisi tersebut. Dengan keputusan ini, penuntutan kasus korupsi terkait impor gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016 yang menjerat Tom Lembong dihentikan. Sebelumnya, Lembong sudah dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 miliar subsidair enam bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengajuan abolisi ini dilakukan oleh Kementerian Hukum melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang kemudian disampaikan ke Presiden Prabowo. Setelah DPR memberikan pertimbangan positif, Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai dasar resmi pemberian abolisi kepada Tom Lembong.
Pemberian abolisi bukan hal yang biasa dilakukan tanpa proses yang jelas. Keputusan ini mencerminkan dimensi kemanusiaan dan politik dalam sistem hukum, terutama pada kasus-kasus yang berkaitan dengan sengketa politik atau kasus yang memiliki implikasi sosial luas. Dengan melibatkan DPR, kebijakan ini mendapat legitimasi dari wakil rakyat, sehingga menguatkan fungsi pengawasan dan akuntabilitas pemerintah.
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong menyoroti mekanisme hukum yang kompleks dan penting dalam sistem peradilan Indonesia. Hak prerogatif Presiden ini, dengan keterlibatan DPR sebagai pengawas, memastikan bahwa keputusan pengampunan hukum tidak diambil secara sepihak, melainkan melalui proses yang transparan dan terstruktur. Kasus ini juga mengingatkan publik tentang pentingnya keseimbangan antara keadilan hukum dan kebijakan pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus besar.